Blogger Widgets
Happy Cute Box Dog

Minggu, 25 Januari 2015

Kosakata Bahasa Palembang-Payo kito lestarike.



Assalamualaikum Wr.Wb. Apo kabar mang cek, bicek? Selamat datang di blog biru ini. Pada kesempatang kali ini saya kan memposting  tentang bahasa sehari-hari masyarakat Palembang. Hal ini desebabkan, menurut pengamatan saya, bahasa Palembang mulai bercampur aduk dengan bahasa-bahasa daerah lainnya sehigga, ya… bisa-bisa Bahasa Palembang ini nantinya akan punah. (oh, tidak)
Perlu diketahui memang bahasa Palembang yang akan saya posting ini bukan bahasa Palembang yang alus atau disebut juga bebaso., karena.. saya juga tidak bisa bebaso. Saya tidak bisa bebaso karena bahasa Palembang alus ini sangat jarang digunakan, sehingga seperti yg saya katakana tadi, banyak yang tak bisa lagi bebaso. jangankan anak-anak, orang tua pun belum tentu bisa. 
Nah, sebelum bahasa Palembang benar-benar hilang dan tercampur adukan dengan bahasa lain, jadi saya mulai menuliskannya. Sehingga ketika dua atau tiga puluh tahun kedepan anak cucu kita nanti tahu inilah bahasa Palembang yang kita pakai saat ini. 

Makan burgo makan lakso
cecepi jugo telok ukan
inilah bahaso, ciri budayo
payo kito lestarikan


A
Ai dah : Ah; mengeluh tentang suatu hal. Mis: Ai dah alang ke panas ari. (Ah, panas sekali) kata Ari tidak merujuk kepada kata hari ini melainkan lebih kepada kata sekarang.
Agek/ kagek/ gek: Nanti. Misalnya: gek kalu pegi kondangan, dodok mantep-mantep jangan rebot. (nanti kalau pergi kondangan, duduk dengan tenang jangan ribut.)
Alep: Sopan; Lemah-lembut
Amper: hamper
Apo dio/ ngapo : Apa
Ado apo : Ada apa
Asak : Asalkan. Cth: Ai, aku idak takot nonton film antu, asak ado kawan be. (Ah, saya tidak takut nonton film hantu, asalkan ada kawan)
Awak: Kau; bisa juga berarti padahal. Mis: Lemak nian kau nyalahke aku, awak kau mecahkenyo. (enak sekali kamu menyalahkan saya, padahal-kan kamu yang memecahkannya)
Asoan : santai; tenang-tenang saja; kurang waspada; ceroboh. Cth: oy, cek. Asoan nian kau ni. Jingok anak kau tuh maen di pengger jalan. (bi, ceroboh sekali kamu. Lihat anakmu sedang maen di pinggir jalan)
B
Borok : Buruk
Bae/ be: saja. Cth: pake baju tu bener dikit, jangan nak malu ke be. (pakai baju itu dengan benar, jangan sampai membuat malu)
Belagak : tampan
Betemu: bertemu
Buri: belakang
Budak: anak kecil; anak. Misal: siapo maen percon magreb-magreb ni?// ay budak-budak kampong sebelah itu nah. (siapa main petasan magrib-magrib?// ah, anak-anak kampong sebelah itu.)
Balen; be balen: kembali lagi. Mis: nah ngapo kau be balen?// aid ah, dompet aku tinggal cek. (nah kenapa kamu kembali lagi?// ah, dompet saya ketinggalan, bung.)
Bekelakar: bercanda.
Beguyur: pergi; sedikit-demi sedikit. Misalnya: payo, beguyur dulu cek. Cak nyo ari nak ujan. (ayo, saya pergi dulu bung. Sepertinya hari akan hujan) cth lain: cak mano, laris jualan?// ay, jadilah. Beguyur dulu cek (bagaimana, laris jualannya?// ah, lumayan. Sedikit demi sedikit dulu bi). (cat. Cek bisa digunakan untuk laki-laki atau perempuan dengan arti paman atau bibi, tergantung lawan bicara.)
Babet: lempar. Cth: nah, kau melawan e. ku babet gek palak kau. (nah, kamu melawan ya. Nanti saya lempar kepalamu.)
Bik cek : bibi
Bosok : bau busuk
Buyan : bodoh
Belenggang : lenggak-lenggok
Banyu: Air.
Bebala: berkelahi
Begancang: bergegas
Berejo: berusaha. Misal: Makan nak lemak, duet dak katek. Payu, berejo pulok. Cari gawe, apo. (Makan mau enak, uang tidak ada. Ayo, berusaha. Cari pekerjaan. (Apo yang terletak di belakang dalam kalimat lebih mendekati ke arti “misalnya”. Ini berbeda dengan kata “apo” posisi di depan yang berarti “apa”
C
Cindo: cantik.
Cak mano: bagaimana
Cak mak itu lah: seperti itu lah.
Cak nyo: sepertinya
Cemeke’an: pelit; peritungan.
Cem ini : Seperti ini
D
Dak katek/ katek : tidak ada
Dak kado : tidak mungkin
Dak Kolu : Tidak tega
Dalu: larut malam. Cth: tedoklah…tedoklah, ari lah dalu gek kesiangan besok. (tidurlah.. tidurlah, hari sudah larut malam nanti kesiangan besok.)
Dulur/dolor  : saudara
Dewe’an: sendirian.
E
E : biasa diletakan dibelakang kalimat, bisa berarti ”ya” atau “Yak an?” untuk meyakinkan. Cth: kau kemaren pegi ke museum SMB e? (kamu kemarin pergi ke museum SMB, ya kan?)
Embek : ambil. Cth: Din, tolong embek ke abah asbak di pocok meja. (Din, tolong ambilkan ayah asbak di atas meja)
Enyek-enyek : bersikap kekanak-kanakan dan berlebihan; terlalu bersikap manja.
Enjok : beri; memberi.
G
Galak: Mau.
Galo: semuanya. Cth : wong kito galo (orang kita semua)
Gancang : cepat
Gawe : Pekerjaan
Gudu : botol
H
I
Idak/ dak: tidak
Inget : ingat
Iwak: ikan
Item : hitam
J
Jadila : lumayan; jadilah.
Jingok : Lihat
K
Kambang: kolam
Kau (dibaca bukan kau tetapi ka-u) : kamu. (cat. Ka-u sebenarnya sopan bagi orang Palembang namun terkadang beberapa orang datangan merasa kasar atau risih, jadi maklum saja.)
Kagek: nanti
Kalu: Kalau.
Kelakar betok : bercanda; cerita candaan yang lucu-lucu
Kito: kita
Kulo : Aku
L
Lawang : pintu
Lokak: peluang; kesempatan. Cth: ado lokak gawean dak, cek? (ada kesempatan kerja tidak, bung?)
Luat : sangat benci; eneg.
M
Mak ini ari: baru-baru ini/ dewasa ini.
Mak wo : nenek
Mogo: semoga
Mang Cek/ cek : bung; paman; mas
Merung : Cemberut
Mintak alem: minta perhatian lebih (hamper sama dengan “enyek-enyek”)
N
Ngoceh : menggerutu
Ngocek : Mengkupas
Nyenyes :  nyinyir
Nyosok: kembalian uang; masuk dengan merangkak atau merayap kebawah suatu ketempat yang sempit. Misalnya: mano kiki tadi?// itu, nah bak dio nyosok bawa dipan. (mana kiki tadi?// itu dia yah, dia merangkak masuk kebawah dipan.)
Nyai: nenek
Nyilap: membakar. (bedanya dengan “tunu”, nyilap lebih kepada membakar dengan secara tak sengaja) misal : cak mano pacak kebakaran ini?// ini, cek. Lelen tu nah nyilap gorden. (bagaimana bisa terjadi kebakaran ini?// begini, bi. Lilin itu membakar(bukan yang disengaja) gordeng.
Ngambok-i: pamer (dengan rasa sombong dan bertujuan membuat orang lain iri)
O
Oy : woi (biasa digunakan sbagai sapaan, dianggap sopan-sopan saja bila di ucap dengan lembut); bisa juga sebagai kata sahutan yang berarti “apa”. Misalnya. Ani: Dauus. // Daus: Oy, Ngapo Ni?
P
Pacal : Babu
Pacak : Bisa
Pawon : dapur
Pasat : memandang dengan fokus
Penyungkan: pemalas
Pupuan : Sanak/Family
R
Rasan: kehendak. Cth: ini cek, jadi aku datang ke sini ini sebenernyo nak berasan. (Begini Pak, jadi saya datang kemari sebenarnya ingin bekehendak) (bisa jadi ingin meminta tolong dsb. Cat. Kata “Berasan” jika diucapkan akan terdengar lebih halus dari pada kata bekehendak walau artinya hamper sama.)
Rengkek: kurus; kerempeng
Rompo' : Rumah
S
Sangkeng: tidak ada arti secara spesifik. Sangkeng biasanya lebih digunakan untuk melebih-lebihkan kata dibelakangnya. Misal: Oy, dio tuh sangkeng ke pinternyo ulangan dapet seratos galo. (dia itu benar-benar pintar, ulangan mendapat seratus semua.)
Sikok: satu
Singitan/ sompotan: sembunyi
Singgonyo : pokoknya. Cth: Ai, ado apo idak duet, singgonyo aku nak meli buku (ah, ada atau tidak uang, pokoknya saya ingin membeli buku)
Sudu: sendok
Sungi: sungai
T
Tekak bantah: keras kepala
Tumo : Kutu
Tunu: membakar. Misal: Ka, tolong tunu ke racon nyamuk tu. (Ka, tolong bakarkan racun nyamuk itu)
Telen/ tegok: menelan
Tongkopan: permainan seek and find
U
Uya: garam
Uji : kata. Misal: ujinyo denget lagi bbm nak toron ye? (katanya, sebentar lagi bbm akan turun ya?)
W
Waya-waya: cuman. Missal: ay, waya-waya duo ratos perak be nak di peretongke. (ah, cuman dua ratus perak pun kau hitung-hitungan).
Wong: orang
Y
Yai: kakek
Yo: ya.
Ya saman: serupa dengan arti kata “ya ampun.”


Demikianlah kosakata bahasa Palembang yang saya buat. Bahasa Indonesia yang baik dan benar memang utama, namun setidaknya, bahasa daerah juga perlu dijaga kelestariannya karena bahasa daerah memperkaya budaya kita.
 Saya sangat sadar bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari kata sempurna, namun bagaimana juga tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran saya harapkan.

Sungi Musi banyak perahu
Di ojongnyo pulau kemaro
Sampe sini dulu tulisan aku
maaf kalu salah-salah kato.

Akhir kata, Wassalamualaikum Wr.Wb.

Jumat, 09 Januari 2015

Contoh Cerpen-Bukan Untuk Logika



Bukan untuk logika
          Wanita itu tertegun di pojok kamar. Terguling tertelentang menatap kosong langit-langit kamar. Tangannya bersendekap, namun  terkadang tergerak juga, meninju-ninju dinding kamar.
          Siapa namanya? Apa yang mengganggunya? Apa yang Ia rasakan? Tak perlu aku tanyakan. Aku tahu persis akan hal itu. Catat, aku tahu persis.
          Suasana malam senyap. Jalan telah lengang. Satu-satunya sumber bunyi hanyalah suara Kipas angin yang berputar kencang, meniupkan udara yang mulai mendinginkan telapak kaki si wanita.
          Wanita itu tetap masih tampak kusut. Menerawang langit-langit dan memukuli dinding lagi-lagi masih menjadi aktivitasnya malam itu.
Aku ingin tersenyum menguatkannya, tapi yang timbul hanyalah tatapan belas kasihan. Getir sekali rasanya. Aku merunduk.
Suasana makin sepi, tapi aku tak peduli. Hati wanita itu lebih sepi. Rasanya seperti kau berdiri sendirian di tengah hutan pada musim gugur. Ketika sekitar mu dipenuhi daun kuning dan coklat. Ketika yang kau lihat hanyalah pohon dan ranting serupa cakar.  Ketika…ketika yang kau dengar hanya degup jantugmu saja.
Dia tak berteman…
Duarr…duarrr..duaar.. ribuan suara kencang itu menyerang langit. Memekakan telinga, menyambar-nyambar satu sama lain.
Aku terlonjak. Si wanita tidak. Dia hanya bangkit dari tidurnya. Duduk bersandar dan kembali menatap langit-langit kamar.
“Ternyata puncaknya telah tiba.” Desah Si wanita.
Aku meandangnya getir, sekali lagi. Jika aku dapat menangis, aku akan menangis untuknya, aku ingin tunjukan betapa aku menyayainya. Betapa berat mendegar desahan otaknya.
Kembang api terus merekah hebat, meledak-ledak dengan bunyi keras seperti hanya berjarak sekilan dari cupingku.
Si wanita masih duduk bersandar, namun tak lagi tengadah ke langit-langit. Matanya tengah menimbang-nimbang. Dan aku tahu apa yang ia ragukan. Malam ini akan ada yang berdamai.
Aku beranjak dari tempatku bediri. Menyusuri rak-rak buku dan meja belajar. Aku tahu apa yang akan terjadi dan aku tak akan menggangunya. Si wanita itu akan berdamai. Entah berhasil atau tidak. 
             Sebuah lembaran kertas menghentikanku, dan aku tahu persis kertas apa itu. Selembar kertas  dengan sembilan buah foto yang tercetak. Si wanita itu pasti belum sempat mengguntingnya. Ia belum sempat mengguntingya hanya karena suasana hati yang berubah.
          Sembilan foto dirinya bersama kawan-kawan selama dua dekade ini. Dirinya tampak bahagia disetiap foto yang tercetak, tapi apakah itu benar? Aku atau Si wanita, pasti tahu jawabanya.
          Suara cekikikan tawa muda-mudi yang negbut besepeda motor di jalanan mengganguku sesaat, menyadarkanku bahwa aku telah tak berdiri di pojok kamar Si wanita lagi. Aku berdiri di  pinggir jalan. Jalan besar yang ramai. Aku tak terlalu mengenal daerah ini, namun aku tahu di mana aku berada. Ini jalan menuju stadion terbesar di kotaku.
          Dua orang muda-mudi berjalan bergandengan di depan wajahku, sangat sibuk dengan diri mereka sehingga tak perduli walau hamper menabrak ku.
          Langit menghasilakan kegelap pekat dengan sempurna, namun ribuan lampu jalan seolah ingin melawannya, pun ribuan manusia disini juga. Mereka tak ingin tidur, mereka ingin bergembira ria malam ini juga.
          Menyenangkan sekali. Berjalan dengan kekasihmu atau sahabatmu atau siapalah yang akan menemanimu malam ini. Hal yang selalu ingin aku rasakan, namun tak pernah terjadi.
          Aku berjalan sendiri. Sepi rasanya. Sendirian ditengah keramaian. Menangis ditengah suasana yang penuh luapan kebahagian.
          Angin mendesau, memilin-milin anak rambutku. Tertatap olehku dua pasang muda-mudi yang berbaju sama. Dua wanita itu, mereka berwajah sama.
          “Berpacaran dengan si kembar, huh.” Gumamku.
          Mereka bercakap lalu terbahak, riang sekali. Aku ikut tersenyum. Andai aku juga memiliki kekasih, berpacaran seperti itu.
Angin bertiup kencang, tiba-tiba. Lampu yang terang menjadi redup, seperti ada payung besar yang menelungkupinya. Berberapa orang terlihat terkejut, namun segera tak menghiraukan karena itu hanya sesaat. Akupun begitu, namun belum sempat aku mengalih, dentuman kencang hadir memekakkan telinga. Suaranya mungkin dua atau tiga kali lipat dari suara pendaratan pesawat terbang. Mungkin sangking kencangnya, aku piker sebentar lagi aku pasti akan tuli.
Sepersekian detik berlalu, namun aku salah, aku tak tuli. Namun aku tak heran, karena yang lebih mengherankanku adalah tak satupun dari mereka yang disekitarku Nampak mendengar bunyi itu. Mereka tampak tenang.
Aku mengadah menuju langit, payung besar  hitam itu masih ada. Namun angin mendesau lembut, seperti semula.
Aku ingin berjalan lagi, namun wajah si kembar mengingatkanku pada Si wanita. Aku ingin melihat dia. Entah bagaimana hasil berdamainya. Aku membalikan badan, namun kini aku sudah di depan rumah. Rumah mungil bercat pastel milik Si wanita.
Suara kembang api sudah tak ada. Suara riuh rendah para tetangga yang bakar-bakar ria pun lenyap, mungkin jagungnya telah habis, atau ungkin juga mereka telah mengantuk atau mungkin yah, apalah. Intinya sekarang hening.
Aku berjalan menuju kamarnya dengan senang karena bisa berjalan-jalan ditengan letupan kembang api tahun ini. Hal yang kuimpikan selama ini.
Selangkah lagi menuju pintu. Namun aku tak sanggup lagi melangkah. Aku mendongak segera, mengadah menatap langit. Kedua kakiku gemetar tak terperikan. Rasa takut jauh menghujam hatiku.
Ribuan sayap putih terbentang menaungi atap rumah. Putih, bersih, berkilauan indah bagai berlian yang terindah. Setiap sayap memancarkan cahaya terang yang menerangkan namun tak menyilaukan. Bagai bubuk-bubuk peri di dalam film begitulah bubuk-bubuk itu tumpah ruah dari sela-sela bulu sayap. Mengeluarkan wewangian lebut yang berbeda setiap ia tersentuh benda.
Aku tergugu. Apa yang terjadi? aku menduga-duga. Bak bisa mendengar suara di kepalaku, sesuatu membuatku telah berada di pojok kamar tempat pertama aku berdiri. Aku terbelalak. Air mataku tumpah ruah disusul kakiku yang lemas hingga aku tersungkur.
Wanita itu telah berdamai. Dia telah berhasil berdamai. Berdamai dengan hatinya yang membatu. Berdamai meminta pengampunan pada Tuhan Yang Maha Esa. Wanita itu tengah mengharu biru dalam sujudnya. Ia menangisi dosa-dosanya. Ia menangisi dosa-dosa orang tuanya. Ia menangisi betapa banyak nikmat yang Allah beri padanya. Ia menangisi, betapa Ia kufur terhadap nikmat-Nya. Ia menangis, Ia menagis karena rindu dengan Rabb-nya.
Aku terus menangis, menangis karena banyak hal. Pertama, Aku menyesal karena menghabiskan mala mini dibawah payung hitam. Kedua, aku brsyukur karena yang pergi malam ini aku bukan dia. Terima kasih Tuhan telah menghalanginya untuk sesuatu yang tak baik baginya.
          Si wanita tersenyum. Aku tahu hatinya telah luar biasa damai. Ia melepas mungkenanya, beranjak menuju kasur.
Jika selama ini kami selalu mengetahui semuanya bersama, namun tidak kali ini. Kali ini hanya aku yang akan mengetahui, ya…mengetahui peristiwa ini.
Si wanita ingin bernjak tidur. Aku tersenyum sekali lagi, bangga menatapnya. Menatap diriku….

                

Selasa, 06 Januari 2015

Daendels-biografi singkat Daendels




Herman Willem Daendels adalah seorang politikus Belanda yang merupakan Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang ke-36,  memerintah antara tahun 18081811. Herman Willem Daendels dikirim oleh kaisar Perancis, Louis Napoleon Bonaparte dikarenakan  pada tahun 1795, Perancis dapat menaklukan Belanda. Raja Belanda William V, mengasingkan diri ke Inggris dan menyerahkan seluruh daerah jajahannya untuk sementara waktu kepada Perancis. Belanda jatuh ketangan Perancis dibawah pimpinan Kaisar Louis Napoleon Bonaparte pada tahun 1806. Hal tersebut menyebabkan pengaruh poitik liberal Perancis meluas di Belanda dan terjadilah perubahan peta politik di Belanda yang pengaruhnya sampai ke Indonesia sebagai daerah jajahannya.
Adapun tujuan dikirimnya Daendels yaitu untuk Memperkuat pertahan di Pulau Jawa untuk menghadapi serangan Inggris, mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya untuk biaya perang melawan Inggris, dan memperbaiki kondisi keuangan pemerintah karena kas Negara kosong.
Kebijakan pemerintahan Daendels yaitu kerja rodi, dan Proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan. Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang pada awalnya  bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat dan semenjak saat itu, jaringan transportasi darat dipulau Jawa mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Dalam kebijakannya, Daendels inggin melakukan pemberantasan korupsi akan tetapi dia malah memperkaya diri sendiri dan keluaganya. Daendels gagal memberantas korupsi. Oleh karena itu Daendels dipanggil pulang ke negeri Belanda dan kedudukannya kemudian digantikan oleh Jansens.