BASHAR AL-ASSAD
PRESIDEN SURIAH KE-10
1.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
Bashar al-Assad dilahirkan di Damaskus pada tanggal 11 September 1965. Dia
merupakan putra Hafez al-Assad yang merupakan presiden Suriah pada 1970 hingga
2000. Basher Al-Assad sangat mahir dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Beliau menjalani studi di sekolah elit Franco-Arab
al-Hurriyet di Damaskus (ibu kota Suriah) dan juga belajar
ilmu kedokteran di Universitas
Damaskus untuk Fakultas Kedokteran. Bashar
Al-Assad lulus menjadi seorang dokter, spesialisasi dalam oftalmologi (mata) di pendidikan rumah sakit London.
2.
BASHAR AL-ASSAD PRESIDEN
DADAKAN
Meski saat
ini, Assad dikenal piawai berpolitik, namun ternyata ia tak memiliki latar belakang
pendidikan politik. Ia adalah lulusan ilmu kedokteran dari London.
Sebelum meninggal, Hafez Al-Assad (ayah Bashar Al-Assad) sebenarnya telah
mempersiapkan anak lelakinya yang lain, Basil al-Assad (kakak Bashar Al-Assad),
putra tertua sebagai penggantinya untuk duduk di kursi kepresidenan Suriah. Bassi
Al-Assad telah dilatih sebagai
seorang insinyur mekanik dan memegang gelar PhD dalam ilmu militer.
Terlatih dalam parasut dan melompat. Assad
ditugaskan di Pasukan Khusus dan kemudian beralih ke korps lapis baja setelah
pelatihan di Akademi Militer Soviet. Dia cepat menjadi komandan utama dan
kemudian dari batalyon di Garda Republik. Namun, untung tak
dapat di raih, malang tak dapat ditolak. Putra pertama presiden Hafez ini tewas dalam kecelakaan mobil pada 21 Januari 1994 , Bassil mengendarai Maseratinya dengan kecepatan tinggi melalui
kabut ke Bandara Internasional Damaskus untuk penerbangan ke Jerman pada
jam-jam awal pagi. Bassel dikatakan telah bertabrakan dengan bundaran jalan tol tanpa
mengenakan sabuk pengaman dan dia tewas seketika. Hafez yang
saat itu sedang berada di London untuk mempelajari oftalmologi dan memimpin
Syrian Computer Society akhirnya dipanggil kembali ke Suriah. Setelah wafatnya
Basil maka hanya
ada dua opsi: mencari calon presiden yang lain atau mengamandemen konstitusi
karena usia Bashar waktu itu (35 tahun) belum cukup untuk menjadi presiden oleh
konstitusi.
Namun karena di di Suriah seluruhnya tidak ada pemuda yang layak untuk
jabatan presiden selain Bashar, maka amandemen konstitusi menjadi pilihan yang
paling ringan. Apalagi karena parlemen Suriah terdiri dari para pakar hukum
terkemuka di dunia. Tidak heran jika amandemen tersebut cuma butuh waktu lima
menit dan jadilah Bashar yang sebelumnya putra mahkota sebagai “raja baru
Suriah”.
Setelah kembali ke Suriah, Bashar kemudian dilatih secara
bertahap agar siap menggantikan ayahnya sebagai presiden. Persiapan tersebut
dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, dibangunlah sebuah kekuatan dukungan
untuk Bashar di bidang militer dan perlindungan. Kedua, image Bashar diperbarui
dan diperkuat di depan publik. Terakhir, Bashar diperkenalkan lebih mendalam
dengan mekanisme untuk mengatur negara.
Untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam bidang militer,
pria yang dikenal dengan panggilan dr. Bashar ini masuk akademi militer di Homs
yang terletak di sebelah utara Damaskus pada tahun 1994. Dia menjadi kolonel
pada bulan Januari 1999. Seiring dengan makin berkembangnya karir Bashar dalam
militer, dia juga mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan menjadi penasihat
politik Presiden Hafez, kepala biro untuk menerima keluhan dari warga, dan
melakukan kampanye anti korupsi. Karena kampanye ini, Bashar sukses
menyingkirkan lawan potensialnya sebagai presiden.
3. MASA
PEMERINTAHAN BASHAR AL-ASSAD
Saat kemudian dilantik sebagai presiden pada tahun 2000,
Bashar memberikan janji untuk menjadikan Suriah menjadi lebih modern dan
demokratis. Dalam pidato pelantikannya, Bashar pun menunjukkan tanda-tanda
bahwa dia akan menjadi pemimpin yang berbeda dari ayahnya.
Dalam situs resminya, Bashar menyatakan dia telah
membanngun zona perdagangan bebas, mengizinkan lebih banyak koran swasta dan
universitas swasta, serta berjuang mengatasi korupsi dan pemborosan yang
dilakukan pemerintah. Namun, banyak orang mengatakan bahwa sebagian besar janji
Bashar belum terwujud hingga kini meskipun sudah ada sejumlah perubahan dan
pemerintahannya. Bashar sempat menyatakan bahwa reformasi yang dijalankannya tersendat
karena adanya kerusuhan di negara-negara tetangga yaitu Lebanon dan Irak.
Beberapa tokoh Suriah menganggap Bashar sebagai sosok yang
canggung dan tidak memiliki kepribadian untuk memimpin. Bahkan sang paman,
Rifaat, yang meninggalkan Suriah pada tahun 1984 setelah terlibat dalam kudeta
yang gagal, mengatakan bahwa Bashar amat berbeda dengan sang ayah yang
merupakan seorang pemimpin. Masa pemerintahan Bashar yang masih berjalan
hingga saat ini berjuang menyelesaikan masalah politik internasional yang belum
terpecahkan. Misalnya, permasalahan air dengan Turki, hubungan yang rumit
dengan Libanon, perebutan Dataran Tinggi Golan dengan Israel, dan permusuhan
dengan raja Jordan.
Meskipun menjanjikan lebih banyak media dalam
pemerintahannya, namun kebebasan media masih dibatasi oleh negara. Sebuah
undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 2007 mewajibkan warnet untuk merekam
semua komentar yang diposkan pengguna pada forum obrolan. Situs web seperti
Wikipedia Arab, YouTube, dan Facebook diblokir antara tahun 2008 hingga
Februari 2011. Kelompok Hak Asasi Manusia, misalnya Human Rights Watch dan Amnesty
International, mengungkapkan bahwa rezim Bashar dan polisi rahasianya secara
rutin menyiksa, memenjarakan, dan membunuh musuh politik dan mereka yang
membangkang dari rezimnya.
Dalam sebuah wawancara dengan ABC News pada tahun 2007,
Bashar menyebutkan bahwa tidak ada tahanan politik di Suriah, namun, New York
Times melaporkan 30 tahanan politik ditangkap di Suriah pada bulan Desember
2007.
Pada 2011, revolusi Musim Semi Arab pecah. Rezim Bashar pun
menjadi sorotan publik. Majalah Foreign Policy pun sempat menganalisa posisi
Bashar sebagai pemimpin di Suriah karena terdorong dengan protes yang terjadi
itu. Bashar segera mengambil langkah nyata untuk menunjukkan perubahan di
Suriah. Pengunjuk rasa yang menginginkan reformasi mendasar, lebih banyak
kebebasan, sistem politik multipartai, dan dicabutnya undang-undang darurat
merasa langkah yang diambil Bashar tidak signifikan dan terlambat.
4. BASHAR
AL-ASSAD SEORANG SYIAH
Presiden
Bashar al Assad bukan seorang penganut Syiah fanatik yang memaksa semua orang
untuk menjadi Syiah. Ia seorang sekuler sejati yang beristrikan wanita liberal
asal Inggris dan mengangkat seorang kristen Ortodok sebagai penglima perangnya.
Ia berasal dari golongan Alawi, salah satu sekte Islam Sunni yang memiliki
kedekatan dengan Shiah dalam hal memuliakan saudara dan menantu Rosulullah, Ali
bin Abi Thalib, semata karena keilmuannya (berdasar hadits mutawatir: "Aku
(Rosul) adalah gerbang kota ilmu dan Ali adalah kuncinya). Selain itu golongan
ini lebih dekat ke Sunni, termasuk dalam cara beribadahnya.
Sementara
itu Rusia yang menjadi pembeli Syria dari konspirasi zionis internasional yang
tengah melanda negeri itu juga bukan negara komunis. Mayoritas rakyat Rusia,
termasuk Presiden Putin dan PM Medvedev, adalah penganut Katholik. Komunisme
hanya partai oposisi yang anggotanya tidak pernah mencapai angka 50.000 orang
di antara lebih dari 200 juta penduduk Rusia.
Sampai
2 tahun yang lalu Suriah adalah negeri yang aman, damai dan makmur.
Pemerintahan yang sekuler melindungi semua sekte dan kelompok agama yang ada:
Islam Sunni, Shiah, Kristen orthodok, dan Druze (sekte penganut keyakinan yang
merupakan campuran antara Islam dan Kristen). Negara memberi jaminan kesehatan
dan pendidikan sepenuhnya kepada semua penduduknya. Dengan kata lain semua
biaya pendidikan dan pengobatan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah. Presiden
Bashar al Assad yang berasal dari golongan Alawi dan beristrikan wanita Inggris
dengan rambut pirangnya yang tergerai, biasa ditemukan makan di warung makan
pinggir jalan, di tengah-tengah rakyatnya, tanpa jarak. Meski berkuasa relatif
mutlak, presiden Syria adalah seorang pemimpin yang maju. Ia mengangkat seorang
wanita sebagai salah seorang penasihatnya.
Tapi
dalam setahun terakhir ini keadaan telah berubah drastis. Peperangan menghancur
leburkan semuanya. Semuanya hanya karena Bashar adalah satu-satunya pemimpin
Arab yang masih berani berkata "tidak" pada Israel dan Amerika. Dan
di balik peperangan berdarah yang tengah melanda Syria, ada satu cerita yang
tidak kalah penting dan menarik. Ini adalah cerita tentang orang-orang di balik
kabar tentang Syria yang kata-katanya menjadi sumber berita di media-media
massa internasional. Mereka adalah para “pakar tentang Syria”, “aktifis
demokrasi”, orang-orang yang “mendesak”, “memperingatkan” dan “menyerukan
tindakan”. Mereka adalah tokoh-tokoh penting oposisi Syria dan koneksinya
dengan bisnis oposisi ciptaan zionis internasional.
Media-media
massa barat biasanya akan bersikap pasif saat mengutip sumber-sumber Syria
dengan menyebutnya sebagai "jubir resmi", atau "penggiat
demokrasi” tanpa memeriksa kevaliditasan pernyataan mereka, latar belakang dan
kaitan politiknya. Adalah penting untuk ditekankah di sini bahwa untuk
menginvestigasi latar belakang hanyalah diperlukan sikap perlawanannya terhadap
regim Bashar al Assad. Namun tentu saja kebencian kepada regim menjadikan
independensi diabaikan. Dan yang sebenarnya adalah tokoh-tokoh kunci oposisi
Syria adalah para pelarian yang mendapatkan bantuan pemerintah Amerika untuk
melemahkan regim Assad jauh sebelum revolusi Arab terjadi.
Meski
hingga kini sikap resmi Amerika belum sampai tahap melengserkan kekuasaan Assad
dengan senjata, para tokoh oposisi itu terus-menerus menyerukan dilakukannya
intervensi militer atas Syria sekaligus memberi amunisi bagi tokoh-tokoh
neo-konservatif Amerika untuk mendesak Presiden Obama melakukan intervensi. Dan
akan kita lihat nanti bahwa beberapa tokoh oposisi ini telah mendapatkan banyak
dukungan tidak saja di Amerika, juga di Eropa, dalam seruannya untuk dilakukan
intervensi. ketegangan semakin tinggi terjadi di Syria dengan Rusia dan Iran
telah bersiap-siap terlibat dalam konflik senjata membela Assad, menjadi
penting untuk mengetahui lebih dekat tokoh-tokoh oposisi yang mengaku sebagai
wakil syah "rakyat Syria".
5. BASHAR
AL-ASSAD DAN REVOLUSI SURIAH
Revolusi Suriah berbeda dengan negara Arab lain. Revolusi Tunisia dan Mesir murni
dilihat sebagai urusan dalam negeri, sedangkan isu Suriah dengan segera
merambah ke ranah regional dan tertiup warna sektarian. Warna regional dan
sektarian dalam isu Suriah disebabkan posisi Suriah yang menjadi bagian inti
pertarungan kubu pro dan kontra-Amerika Serikat di Timur Tengah. Suriah berada
dalam kubu kontra-AS bersama Iran, Hezbollah di Lebanon, dan Hamas di
Palestina.
Negara di kawasan Arab pun tak lepas dari pertarungan dua
kubu itu dalam menyikapi isu Suriah. Arab Saudi, Jordania, Mesir, Turki, dan
negara-negara Arab Teluk yang dikenal dekat dengan AS dan Barat mengecam
tindakan keras rezim Presiden Bashar al-Assad terhadap unjuk rasa prodemokrasi
di negara itu. Adapun Iran dan Hezbollah terang-terangan mendukung rezim Bashar
al-Assad.
Perpecahan itu diperparah oleh kepercayaan keluarga
al-Assad yang menganut mazhab Syiah Alawite. Kelompok Syiah Alawite adalah
minoritas di Suriah, tetapi memegang kekuasaan dan menikmati banyak fasilitas,
terutama di jajaran militer. Kebetulan kubu pro dan kontra-AS dan Barat
menganut mazhab berbeda. Kubu pro-AS menganut mazhab Sunni dan kubu kontra-AS
menganut mazhab Syiah, kecuali Hamas. Hal itulah yang kini menonjol ke permukaan.
Pertarungan antara kubu pro dan kontra-AS atas Suriah sekaligus mencerminkan
pertarungan kelompok Sunni dan Syiah di negara tersebut. Oleh karena itu, ada
pihak tertentu yang sengaja membesar-besarkan isu Sunni-Syiah dalam ranah
revolusi Suriah dalam upaya menyulut kebencian rakyat penganut Sunni terhadap
rezim Bashar al-Assad yang penganut Syiah. Hal itu sekaligus untuk mencari
simpati kubu pro-AS yang menganut Sunni agar lebih keras mengecam dan memberi
sanksi terhadap rezim Bashar al-Assad. Padahal, yang terjadi di Suriah sesungguhnya
adalah revolusi rakyat tanpa latar belakang ideologi atau mazhab tertentu.
Latar belakang masalah yang menyulut revolusi Suriah sama dengan penyebab
revolusi di Mesir dan Tunisia, yaitu kepemimpinan represif dan diktator, serta
perekonomian yang memburuk. Banyak penganut mazhab Syiah Alawite juga terlibat
dalam unjuk rasa menentang rezim Bashar al-Assad.
Penyair dan sastrawan terkemuka asal Suriah yang menganut
mazhab Syiah Alawite, Adonis, misalnya, meminta Bashar al-Assad legawa mundur
dari jabatannya. Adonis—yang memiliki nama asli Ali Ahmed Said—dalam wawancara dengan
harian Kuwait Al Raie, akhir pekan lalu, meramalkan, kubu Islamis di Suriah
akan berkuasa jika rezim Bashar al-Assad ambruk akibat tekanan revolusi
rakyatnya. Menurut dia, organisasi yang memiliki kekuatan nyata dan rapi di Suriah
saat ini adalah kubu Islamis, antara lain, kubu Ikhwanul Muslimin. Artinya,
sebagai salah seorang tokoh Syiah Alawite, Adonis menerima realita bila kubu
Sunni, baik Ikhwanul Muslimin maupun kelompok lain, berkuasa di Suriah pada
masa mendatang. Adonis juga mengatakan, kekuatan partai sosialis Baath yang berkuasa di
Suriah bukan terletak pada ideologinya, melainkan hanya mengandalkan aparat
keamanan dan militer. Akan tetapi, suara Adonis atas tokoh Syiah Alawite lain yang menentang
pemerintah tidak menonjol, ditelan kepentingan politik dari kekuatan yang telah
terpolarisasi antara kubu pro dan kontra-AS atau Barat. Karena itu, yang
terjadi menyangkut isu Suriah sekarang adalah pertarungan memperebutkan Suriah.
Rebutan
Suriah dalam sejarahnya memang selalu menjadi ajang
rebutan. Pada dekade 1950-an dan 1960-an, Suriah menjadi rebutan poros dinasti
Hasyemi yang berkuasa di Jordania dan Irak di satu pihak dengan poros
Mesir-Arab Saudi yang antidinasti Hasyemi di pihak lain.
Dalam referendum tahun 1958, rakyat Suriah memilih
bergabung dengan Mesir sebelum akhirnya pecah pada tahun 1961. Selama tiga
tahun (1958-1961), Mesir dan Suriah menjadi satu negara dan mengibarkan satu
bendera. Artinya, Mesir saat itu memenangi pertarungan melawan dinasti Hasyemi
di Jordania dan Irak dalam memperebutkan Suriah.
Partai Baath kemudian menguasai Suriah. Sejak awal 1960-an
hingga tahun 1990-an, Suriah memilih memihak Uni Soviet atau blok Timur dalam
pertarungan antara blok Barat dan Timur yang lebih dikenal dengan era perang
dingin. Pasca ambruknya Uni Soviet, Suriah mendekat ke Barat yang ditandai dengan
bergabungnya negara itu dalam pasukan multinasional untuk mengusir Irak dari
Kuwait pada 1991. Namun, pada saat bersamaan Suriah tetap menjaga hubungan
strategisnya dengan Iran yang anti-Barat.
Setelah invasi AS ke Irak tahun 2003, hubungan Suriah dan
Barat semakin renggang karena perbedaan pendapat di Irak setelah tumbangnya
Saddam Hussein, isu Lebanon, dan Palestina. Perbedaan pendapat itu mencapai
puncaknya setelah mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri yang pro-Barat
tewas tahun 2005. Suriah diduga terlibat, baik langsung maupun tidak langsung,
dalam pembunuhan Hariri. Perbedaan pendapat itu mempererat hubungan Suriah-Iran
yang serta-merta menjadi poros anti-Barat.
Ketika revolusi Arab menjamah Suriah, pertengahan Maret
lalu, AS dan porosnya seperti menemukan momentum besar untuk membonceng
keinginan rakyat Suriah dalam upaya mendongkel kekuasaan rezim Bashar al-Assad.
Bagi AS dan Barat, kepentingannya tentu lebih besar dari sekadar menumbangkan
rezim Bashar al-Assad. Tumbangnya al-Assad adalah tanda kemenangan dalam pertarungan
kawasan melawan kubu Iran.
Bagi AS, jika setelah Bashar al-Assad tumbang dan Ikhwanul
Muslimin yang berkuasa di Suriah, itu urusan belakangan. Meski Ikhwanul
Muslimin belum tentu pro-AS, langkah Washington tetap lebih ringan untuk
melakukan pendekatan dibandingkan dengan rezim Bashar al-Assad yang telanjur
menjalin hubungan strategis mendalam dengan Iran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar