Blogger Widgets
Happy Cute Box Dog

Rabu, 04 Desember 2013

Revolusi Tunisia, Revolusi yang Berawal dari Aksi Bakar Diri


Revolusi Musim Semi di Tunisia

 
Revolusi Tunisia 2010-2011 adalah serangkaian unjuk rasa yang sedang berlangsung di berbagai kota di Tunisia yang membuat Presiden Zine El Abidine Ben Ali mundur dari jabatannya pada 14 Januari 2011 setelah 23 tahun berkuasa. Pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan dan bahan bakar, pengangguran, korupsi, dan kebebasan berbicara

Latar Belakang munculnya Revolusi Musim Semi di Tunisia
Telah tercatat dalam sejarah bahwa revolusi Tunisia ini bermula dari seorang tukang sayur, Muhammad Bouazizi, berumur 26 tahun yang tertindas di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibu kota Tunisia. Bouazizi yang selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur tiba-tiba didatangi oleh segerombolan polisi dan mereka menyita gerobak sayurnya dengan alasan bahwa ia berjualan tanpa izin. Bouazizi sudah coba membayar 10 dinar Tunisia, namun ia ditampar, diludahi, bahkan ayahnya yang sudah meninggal dihina.
Ia berusaha melapor ke markas provinsi, namun keluhannya sama sekali tak dihiraukan. Bouazizi pun mengambil langkah nekat yakni dengan cara membakar dirinya. Ternyata tidak hanya Bouazizi yang terbakar, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktaktoran rezim yang berkuasa. 
Dari sanalah gejolak bermula. Unjuk rasa pun terjadi sebagai bentuk protes atas kebijakan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali, sang diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun. Peristiwa yang bermula pada Desember 2010 itu termasuk gelombang pergolakan sosiopolitik yang paling dramatik di Tunisia dalam masa tiga dasawarsa. Peristiwa itu menyebabkan ramai warga yang menjadi korban atau cedera hingga akhirnya Ben Ali berhasil digulingkan pada 14 Januari 2011. 

Presiden Zine El Abidine Ben Ali dan Tumbangnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali
      Tidak ada yang menduga, letupan di Tunisia yang dimulai sejak bulan Desember tahun lalu akhirnya dapat menumbangkan Zine El Abidine Ben Ali, sang rezim diktator yang juga anti terhadap segala bentuk kehidupan yang berbau Islam. Ben Ali yang oleh kebanyakan warga Tunisia biasa dijuluki Ben A Vie (dari bahasa Prancis yang berarti seumur hidup), sebagai bentuk ejekan karena ingin berkuasa seumur hidup di negeri berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu.

Ben A Vie yang sejak muda mendapat didikan Prancis tersebut menjadi Presiden Tunisia kedua sejak negara itu merdeka dari Perancis pada 1956 setelah mundurnya Presiden pertama Habib Bourguiba karena sakit-sakitan akibat penyakit tua renta pada 7 November 1987. Ben A Vie yang diharapkan mengadakan perubahan dari rezim diktator pendahulunya ternyata lebih parah, termasuk yang terkait dengan kehidupan yang berbau Islam yang menjadi agama 99 % rakyat negeri itu.

Jenderal Zine El Abidine Ben Ali lahir di Hammam-Sousse, 3 September 1936 (74 tahun) adalah Presiden Republik Tunisia sejak 7 November 1987 dan presiden yang kedua sejak kemerdekaannya dari Perancis pada 20 Maret 1956.Di Tunisia, media massa sering menyebutnya Ali Baba.Sebagai militan muda dari Partai Neo-Destour, ia dikirim ke Perancis untuk menjalani latihan militer. Ia lulus dari Sekolah Inter-Arms di Saint-Cyr dan Sekolah Artileri di Châlons-en-Champagne. Kemudian melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.

Ben Ali ditunjuk mendirikan dan mengatur Departemen Keamanan Militer pada 1964 hingga 1974. Ia dipromosikan sebagai Direktur-Jenderal Keamanan Nasional dalam Departemen Dalam Negeri pada 1977 setelah menjabat sebagai atase militer di Maroko.Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai Duta Besar untuk Polandia menjadi kepala Keamanan Nasional namun kini dengan posisi setingkat Menteri. Ia mengambil posisi ini saat berkembangnya gerakan Islam di negerinya.
Pada saat itui ia diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi Perdana Menteri di bawah Presiden Habib Bourguiba pada 1 Oktober 1987. Lalu, Bin Ali memecat Presiden Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987 dengan dukungan beberapa gelintir elite dan pendukungnya.

Tujuh orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Presiden Bourguiba tak cakap menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal 1990-an.Proyek pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau perumahan, telah dijalankan. Bagaimanapun, pengangguran menyisakan masalah ekonomi yang besar

Ben Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian (aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratiknya (dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers menyisakan penyamaran. Pada 1999, walaupun dua kandidat alternatif yang tak dikenal diizinkan untuk pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya hingga 2014.

Televisi Zionis Israel menyatakan penyesalan mendalam atas tumbangnya kekuasaan pemerintah Zine El Abidine Ben Ali dan menyebut mantan Presiden Tunisia yang lari ke Arab Saudi ini sebagai pendukung terbesar politik Israel secara diam-diam. Pemerintah Tunisia di masa Zine El Abidine Ben Ali pada 2008 lalu saat Israel menyerang Jalur Gaza, melarang warganya untuk melakukan demonstrasi anti Israel. Tidak hanya itu, Ben Ali juga melarang upaya mengumpulkan bantuan rakyat untuk warga Gaza.

Kebanyakan negara-negara Arab saat ini punya terlilit masalah yang sama seperti tidak adanya kebebasan, kemiskinan dan penggangguran. Masalah ini membuat rakyat di Tunisia melakukan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintahnya begitu juga yang terjadi di Aljazair yang menyebabkan puluhan rakyat tewas dan cidera. Namun sejatinya yang terjadi adalah krisis politik yang lebih luas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan pengangguran. Dengan kata lain, permasalahan utamanya adalah kebencian yang demikian memuncak terhadap pemerintahan diktator Ben Ali dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya. Intinya pengangguran adalah satu-satunya yang tersisa sebagai sarana untuk menggugat pemerintah dan menunjukkan ketidakpercayaan terhadapnya. Pelaksanaan Pemilu selama ini hanya sebatas drama politis untuk melanggengkan kekuasaan tangan besi.
Protes ini pada akhirnya melengserkan pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali dan para pengamat politik berkeyakinan bahwa tumbangnya pemerintahan Ben Ali merupakan sebuah pesan penting bagi penguasa sebagian negara-negara Arab yang berkuasa bertahun-tahun secara turun temurun.


Pasca Revolusi Musim Semi Tunisia
Tunisia adalah tempat kelahiran gempa yang mengguncang wilayah tersebut dan memakan korban sejumlah penguasa diktator. Aksi bakar diri Muhammad Bouzizi menyebabkan protes massa yang akhirnya mengakibatkan Zine El Alidine Ben Ali meninggalkan negara. Riak-riak kejadian ini masih terasa di seluruh dunia dan tidak ada yang pernah mengharapkan revolusi Arab akan menelan seluruh wilayah itu. Januari 2013 tepat dua tahun sejak Revolusi Arab mulai terjadi di Tunisia sementara banyak hal yang telah berubah, namun yang sulit untuk dihindari adalah seberapa banyak yang tidak berubah dan tetap sama.
Setelah puluhan tahun penindasan, pemerintah sementara menggantikan pemerintahan Ben Ali, dan pemilu berlangsung pada bulan Oktober 2011. Partai Islam di negara itu, Ennahda, memenangkan pemilu legislatif, dengan mendapatkan 90 dari 217 kursi, dan melanjutkan dengan membentuk pemerintah koalisi dengan partai-partai sekuler yang memenangkan posisi kedua dan ketiga tertinggi untuk kursi parlemen. Pada saat itu, sulit untuk dihindari suara Islam untuk pemilu dan suasana dengan perasaan itulah yang mendasari dan memberikan partai Islam itu kemenangan yang jelas mengejutkan banyak pihak di wilayah itu dan sekitarnya. Dengan mandat yang besar, para politisi Islam mengambil posisi pemerintahan mereka dan Tunisia menunggu nilai-nilai Islam diterapkan pada masyarakat.
Ennahda mendominasi majelis konstituante yang bertugas menulis konstitusi negara. Rancangan konstitusi diumumkan kepada publik pada bulan Agustus 2012, dan setelah mendapatkan ‘tiket Islam’, Ennahda menegaskan bahwa mereka tidak akan menjadikan syariat sebagai sumber hukum dalam konstitusi yang baru dan akan mempertahankan sifat sekuler Negara itu. Ennahda bersikeras bahwa mereka akan terus memperatahankan pasal pertama Konstitusi 1956 pada undang-undang dasar yang baru. Pasal itu mengabadikan pemisahan antara agama dan negara, dengan menyatakan bahwa: “Tunisia adalah sebuah Negara yang bebas, merdeka dan berdaulat, beragama Islam, berbahasa Arab dan adalah sebuah negara republik” .” Kami tidak akan menggunakan undang-undang untuk memaksakan agama. Pemimpin Ennahda Rachid Ghannouchi mengatakan kepada para wartawan setelah komite konstituen partai-partai Islam  melakukan voting untuk mempertahankan pasal konstitusional dengan 52 suara melawan 12 suara. Pasal itu, katanya menambahkan” merupakan obyek dari konsensus di antara semua lapisan masyarakat; dengan melestarikan identitas Arab-Muslim Tunisia dan juga menjamin prinsip-prinsip negara yang demokratis dan sekuler
Ennahda didirikan pada tahun 1980 dengan mengikuti model Ikhwanul Muslimin Mesir, dan selama dua dekade terakhir telah menjadi lebih nyaman dengan ide-ide sekularisme, hingga ke titik yang sekarang dengan memiliki lebih banyak persamaan dengan partai-partai sekuler daripada sebagai sebuah partai Islam. Partai ini telah menjadi mirip dengan AKP di Turki yang menjadikan Islam dalam namanya saja.
Ummat Islam Tunisia memilih partai Islam itu karena sentimen keislaman mereka. Ennahda telah benar-benar menjelaskan posisinya sekarang ini ketika mereka berkuasa, bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk menerapkan Islam. Tunisia telah menjadi satu-satunya negara yang menyaksikan terusirnya seorang pemimpin dan secara terbuka menyatakan bahwa negara itu akan mempertahankan sistem yang ada, meskipun dengan beberapa perubahan palsu, namun hampir tidak memberikan peran apapun kepada Islam. Pemimpin Ennahda, Rachid Ghannouchi, menjelaskan sehubungan dengan pendirian Khilafah setelah memenangkan pemilu: “Jelas, kami adalah sebuah negara bangsa. Kami menginginkan pemerintah untuk reformasi Tunisia, bagi Negara Tunisia. Adapun isu Khilafah, hal ini merupakan masalah yang bukan merupakan suatu realitas. Persoalan realitas saat ini adalah bahwa kami adalah sebuah Negara Tunisia yang menginginkan reformasi, sehingga menjadi sebuah Negara bagi Rakyat Tunisia, bukan untuk melawan mereka”
Ennadah menyukai mitranya di Mesir setelah muncul sebagai pemenang yang telah melakukan segalanya dengan kemampuan mereka untuk mempertahankan sistem yang ada. Dengan menyebut dirinya sebagai sebuah partai Islam telah menjadikannya sangat jelas bahwa pemerintahan Islam tidak bisa bekerja di dunia pada saat ini, Rachid Ghannouchi, pemimpin kelompok itu mengatakan partai Islam tidak akan “memperkenalkan definisi yang ambigu dalam konstitusi yang memberikan risiko terpecahnya rakyat”, dengan menambahkan bahwa “banyak rakyat Tunisia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang syariah dan praktek-praktek yang salah di negara tertentu telah menimbulkan ketakutan.” Sementara banyak orang di Tunisia yang mengorbankan hidup mereka untuk perubahan di negara itu, namun setelah berkuasa Ennadah menolak untuk menerapkan Islam dan mereka harus memperhatikan bahwa umat mengusir Ben Ali ke luar negeri karena pengkhianatan yang dilakukannya, umat telah menunjukkan mereka tidak lagi takut terhadap rezim dan jika Ennadah tidak memenuhi janjinya, mereka juga dapat menjadi bagian dari sejarah sebagaimana Ben Ali saat ini.


Respon Liga Arab
      Konferensi tingkat tinggi bidang Perekonomian, Sosial dan Pembangunan negara-negara Arab yang berlangsung di Sharm El-Sheikh, Mesir sama sekali tidak menyinggung kekacauan di Tunisia yang mulai memicu krisis ekonomi di negeri itu.
Konferensi yang berakhir hari Rabu (19/1) hanya menekankan pada masalah pembangunan dan upaya pengentasan pengangguran di negara-negara Arab. "Ini merupakan konferensi ekonomi bukan konferensi politik," kata Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Abul-Gheit saat memberikan keterangan pers di acara penutupan kemarin, menjawab pertanyaan mengapa konferensi itu sama sekali tidak membahas krisis di Tunisia.
"Mesir sudah menyatakan keprihatinannya atas apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir menghormati aspirasi rakyat Tunisia. Saya pikir, tidak membahas krisis di Tunisia (dalam konferensi itu) bukan hal yang memalukan karena pada bulan Maret nanti akan ada pertemuan tingkat tinggi untuk masalah politik di Irak, dan masalah Tunisia akan dibahas dalam pertemuan itu, jika masih relevan," tukas Menlu Mesir.
Para pemimpin Arab yang hadir dalam pertemuan di Sharm El-Syaikh hampir tidak ada yang menyinggung krisis dalam negeri Tunisia dalam pidatonya. Hanya Sekretaris Jenderal Liga Arab Amr Moussa yang selintas menyinggung persoalan di negeri itu. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi di Tunisia adalah sebuah "revolusi."
"Masyarakat negara-negara Arab sudah sering diguncang oleh krisis-krisis sosial. Revolusi yang sedang terjadi di Tunisia berkaitan dengan isu-isu ekonomi dan pembangunan sosial dalam pertemuan tingkat tinggi tahun ini. Revolusi itu tidak jauh jaraknya dari kita," kata Moussa.
Sekjen Liga Arab itu juga mengingatkan bahwa masyarakat Arab telah memasuki tahap kemarahan dan frustasi yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Untuk itu Moussa menyerukan "pembaruan" di negara-negara Arab untuk mengatasi rasa frustasi di kalangan rakyat.

Konferensi tingkat tinggi bidang ekonomi, sosial dan pembangunan negara-negara Arab menetapkan sejumlah resolusi terkait peningkatan kerjasama di ketiga bidang tersebut. Antara lain pembentukan area perdagangan bebas, penyatuan bea cukai, pemberlakukan kebijakan di bidang investasi dan kerjasama dalam bidang teknologi internet, angkatan laut dan bidang kelistrikan.
Konferensi itu juga memberikan perhatian khusus pada masalah keamanan pangan dan sumber air, terutama masalah perubahan iklim yang membuat sumber-sumber air makin langka. Negara-negara Arab sepakat untuk menggalang kerjasama menetapkan strategi pengamanan sumber-sumber air di wilayah Arab.

1 komentar: