Revolusi Musim Semi di Tunisia
Revolusi Tunisia 2010-2011
adalah serangkaian unjuk rasa yang sedang berlangsung di berbagai
kota di Tunisia
yang membuat Presiden Zine El Abidine Ben Ali mundur dari
jabatannya pada 14 Januari 2011
setelah 23 tahun berkuasa. Pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan dan
bahan bakar, pengangguran, korupsi,
dan kebebasan berbicara
Latar Belakang munculnya
Revolusi Musim Semi di Tunisia
Telah tercatat dalam sejarah bahwa revolusi Tunisia
ini bermula dari seorang tukang sayur, Muhammad Bouazizi, berumur 26 tahun yang
tertindas di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibu kota
Tunisia. Bouazizi yang selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur
tiba-tiba didatangi oleh segerombolan polisi dan mereka menyita gerobak
sayurnya dengan alasan bahwa ia berjualan tanpa izin. Bouazizi sudah coba
membayar 10 dinar Tunisia, namun ia ditampar, diludahi, bahkan ayahnya yang
sudah meninggal dihina.
Ia berusaha melapor ke markas provinsi, namun
keluhannya sama sekali tak dihiraukan. Bouazizi pun mengambil langkah nekat
yakni dengan cara membakar dirinya. Ternyata tidak hanya Bouazizi yang
terbakar, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktaktoran
rezim yang berkuasa.
Dari sanalah gejolak bermula. Unjuk rasa pun terjadi
sebagai bentuk protes atas kebijakan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali,
sang diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun. Peristiwa yang
bermula pada Desember 2010 itu termasuk gelombang pergolakan sosiopolitik yang
paling dramatik di Tunisia dalam masa tiga dasawarsa. Peristiwa itu menyebabkan
ramai warga yang menjadi korban atau cedera hingga akhirnya Ben Ali berhasil
digulingkan pada 14 Januari 2011.
Presiden Zine El Abidine Ben
Ali dan Tumbangnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali
Tidak ada yang menduga, letupan di Tunisia yang dimulai
sejak bulan Desember tahun lalu akhirnya dapat menumbangkan Zine El Abidine Ben
Ali, sang rezim diktator yang juga anti terhadap segala bentuk kehidupan yang
berbau Islam. Ben Ali yang oleh kebanyakan warga Tunisia biasa dijuluki Ben A
Vie (dari bahasa Prancis yang berarti seumur hidup), sebagai bentuk ejekan
karena ingin berkuasa seumur hidup di negeri berpenduduk sekitar 11 juta jiwa
itu.
Ben A Vie
yang sejak muda mendapat didikan Prancis tersebut menjadi Presiden Tunisia
kedua sejak negara itu merdeka dari Perancis pada 1956 setelah mundurnya
Presiden pertama Habib Bourguiba karena sakit-sakitan akibat penyakit tua renta
pada 7 November 1987. Ben A Vie yang diharapkan mengadakan perubahan dari rezim
diktator pendahulunya ternyata lebih parah, termasuk yang terkait dengan
kehidupan yang berbau Islam yang menjadi agama 99 % rakyat negeri itu.
Jenderal
Zine El Abidine Ben Ali lahir di Hammam-Sousse, 3 September 1936 (74 tahun)
adalah Presiden Republik Tunisia sejak 7 November 1987 dan presiden yang kedua
sejak kemerdekaannya dari Perancis pada 20 Maret 1956.Di Tunisia, media massa
sering menyebutnya Ali Baba.Sebagai militan muda dari Partai Neo-Destour, ia
dikirim ke Perancis untuk menjalani latihan militer. Ia lulus dari Sekolah
Inter-Arms di Saint-Cyr dan Sekolah Artileri di Châlons-en-Champagne. Kemudian
melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.
Ben Ali
ditunjuk mendirikan dan mengatur Departemen Keamanan Militer pada 1964 hingga
1974. Ia dipromosikan sebagai Direktur-Jenderal Keamanan Nasional dalam
Departemen Dalam Negeri pada 1977 setelah menjabat sebagai atase militer di
Maroko.Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai Duta Besar untuk Polandia menjadi
kepala Keamanan Nasional namun kini dengan posisi setingkat Menteri. Ia
mengambil posisi ini saat berkembangnya gerakan Islam di negerinya.
Pada saat itui ia diangkat sebagai
Menteri Dalam Negeri dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi Perdana
Menteri di bawah Presiden Habib Bourguiba pada 1 Oktober 1987. Lalu, Bin Ali
memecat Presiden Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987
dengan dukungan beberapa gelintir elite dan pendukungnya.
Tujuh
orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Presiden Bourguiba tak cakap
menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok
pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal
1990-an.Proyek pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau
perumahan, telah dijalankan. Bagaimanapun, pengangguran menyisakan masalah
ekonomi yang besar
Ben Ali
melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian
(aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan
pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratiknya
(dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya
masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers menyisakan
penyamaran. Pada 1999, walaupun dua kandidat alternatif yang tak dikenal
diizinkan untuk pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali
diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004,
secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang
kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya
hingga 2014.
Televisi
Zionis Israel menyatakan penyesalan mendalam atas tumbangnya kekuasaan
pemerintah Zine El Abidine Ben Ali dan menyebut mantan Presiden Tunisia yang
lari ke Arab Saudi ini sebagai pendukung terbesar politik Israel secara
diam-diam. Pemerintah Tunisia di masa Zine El Abidine Ben Ali pada 2008 lalu
saat Israel menyerang Jalur Gaza, melarang warganya untuk melakukan demonstrasi
anti Israel. Tidak hanya itu, Ben Ali juga melarang upaya mengumpulkan bantuan
rakyat untuk warga Gaza.
Kebanyakan negara-negara Arab saat
ini punya terlilit masalah yang sama seperti tidak adanya kebebasan, kemiskinan
dan penggangguran. Masalah ini membuat rakyat di Tunisia melakukan demonstrasi
memprotes kebijakan pemerintahnya begitu juga yang terjadi di Aljazair yang
menyebabkan puluhan rakyat tewas dan cidera. Namun sejatinya yang terjadi
adalah krisis politik yang lebih luas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan
pengangguran. Dengan kata lain, permasalahan utamanya adalah kebencian yang
demikian memuncak terhadap pemerintahan diktator Ben Ali dan hilangnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya. Intinya pengangguran adalah
satu-satunya yang tersisa sebagai sarana untuk menggugat pemerintah dan
menunjukkan ketidakpercayaan terhadapnya. Pelaksanaan Pemilu selama ini hanya
sebatas drama politis untuk melanggengkan kekuasaan tangan besi.
Protes ini
pada akhirnya melengserkan pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali dan para
pengamat politik berkeyakinan bahwa tumbangnya pemerintahan Ben Ali merupakan
sebuah pesan penting bagi penguasa sebagian negara-negara Arab yang berkuasa
bertahun-tahun secara turun temurun.
Pasca Revolusi Musim Semi Tunisia
Tunisia adalah tempat kelahiran gempa yang mengguncang wilayah tersebut
dan memakan korban sejumlah penguasa diktator. Aksi bakar diri Muhammad Bouzizi
menyebabkan protes massa yang akhirnya mengakibatkan Zine El Alidine Ben Ali
meninggalkan negara. Riak-riak kejadian ini masih terasa di seluruh dunia dan
tidak ada yang pernah mengharapkan revolusi Arab akan menelan seluruh wilayah
itu. Januari 2013 tepat dua tahun sejak Revolusi Arab mulai terjadi di Tunisia
sementara banyak hal yang telah berubah, namun yang sulit untuk dihindari
adalah seberapa banyak yang tidak berubah dan tetap sama.
Setelah puluhan tahun penindasan, pemerintah sementara menggantikan
pemerintahan Ben Ali, dan pemilu berlangsung pada bulan Oktober 2011. Partai
Islam di negara itu, Ennahda, memenangkan pemilu legislatif, dengan mendapatkan
90 dari 217 kursi, dan melanjutkan dengan membentuk pemerintah koalisi dengan
partai-partai sekuler yang memenangkan posisi kedua dan ketiga tertinggi untuk
kursi parlemen. Pada saat itu, sulit untuk dihindari suara Islam untuk pemilu
dan suasana dengan perasaan itulah yang mendasari dan memberikan partai Islam
itu kemenangan yang jelas mengejutkan banyak pihak di wilayah itu dan
sekitarnya. Dengan mandat yang besar, para politisi Islam mengambil posisi
pemerintahan mereka dan Tunisia menunggu nilai-nilai Islam diterapkan pada
masyarakat.
Ennahda mendominasi majelis konstituante yang bertugas menulis konstitusi
negara. Rancangan konstitusi diumumkan kepada publik pada bulan Agustus 2012,
dan setelah mendapatkan ‘tiket Islam’, Ennahda menegaskan bahwa mereka tidak
akan menjadikan syariat sebagai sumber hukum dalam konstitusi yang baru dan
akan mempertahankan sifat sekuler Negara itu. Ennahda bersikeras bahwa mereka
akan terus memperatahankan pasal pertama Konstitusi 1956 pada undang-undang
dasar yang baru. Pasal itu mengabadikan pemisahan antara agama dan negara,
dengan menyatakan bahwa: “Tunisia adalah sebuah Negara yang bebas, merdeka
dan berdaulat, beragama Islam, berbahasa Arab dan adalah sebuah negara
republik” .” Kami tidak akan menggunakan undang-undang untuk memaksakan agama.
Pemimpin Ennahda Rachid Ghannouchi mengatakan kepada para wartawan setelah
komite konstituen partai-partai Islam melakukan voting untuk
mempertahankan pasal konstitusional dengan 52 suara melawan 12 suara. Pasal
itu, katanya menambahkan” merupakan obyek dari konsensus di antara semua
lapisan masyarakat; dengan melestarikan identitas Arab-Muslim Tunisia dan juga
menjamin prinsip-prinsip negara yang demokratis dan sekuler
Ennahda didirikan pada tahun 1980 dengan mengikuti model Ikhwanul
Muslimin Mesir, dan selama dua dekade terakhir telah menjadi lebih nyaman
dengan ide-ide sekularisme, hingga ke titik yang sekarang dengan memiliki lebih
banyak persamaan dengan partai-partai sekuler daripada sebagai sebuah partai
Islam. Partai ini telah menjadi mirip dengan AKP di Turki yang menjadikan Islam
dalam namanya saja.
Ummat Islam Tunisia memilih partai Islam itu karena sentimen keislaman
mereka. Ennahda telah benar-benar menjelaskan posisinya sekarang ini ketika
mereka berkuasa, bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk menerapkan Islam.
Tunisia telah menjadi satu-satunya negara yang menyaksikan terusirnya seorang
pemimpin dan secara terbuka menyatakan bahwa negara itu akan mempertahankan
sistem yang ada, meskipun dengan beberapa perubahan palsu, namun hampir tidak
memberikan peran apapun kepada Islam. Pemimpin Ennahda, Rachid Ghannouchi,
menjelaskan sehubungan dengan pendirian Khilafah setelah memenangkan pemilu: “Jelas,
kami adalah sebuah negara bangsa. Kami menginginkan pemerintah untuk reformasi
Tunisia, bagi Negara Tunisia. Adapun isu Khilafah, hal ini merupakan masalah
yang bukan merupakan suatu realitas. Persoalan realitas saat ini adalah bahwa
kami adalah sebuah Negara Tunisia yang menginginkan reformasi, sehingga menjadi
sebuah Negara bagi Rakyat Tunisia, bukan untuk melawan mereka”
Ennadah menyukai mitranya di Mesir setelah muncul sebagai pemenang yang
telah melakukan segalanya dengan kemampuan mereka untuk mempertahankan sistem
yang ada. Dengan menyebut dirinya sebagai sebuah partai Islam telah
menjadikannya sangat jelas bahwa pemerintahan Islam tidak bisa bekerja di dunia
pada saat ini, Rachid Ghannouchi, pemimpin kelompok itu mengatakan partai Islam
tidak akan “memperkenalkan definisi yang ambigu dalam konstitusi yang
memberikan risiko terpecahnya rakyat”, dengan menambahkan bahwa “banyak rakyat
Tunisia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang syariah dan praktek-praktek
yang salah di negara tertentu telah menimbulkan ketakutan.” Sementara banyak
orang di Tunisia yang mengorbankan hidup mereka untuk perubahan di negara itu,
namun setelah berkuasa Ennadah menolak untuk menerapkan Islam dan mereka harus
memperhatikan bahwa umat mengusir Ben Ali ke luar negeri karena pengkhianatan
yang dilakukannya, umat telah menunjukkan mereka tidak lagi takut terhadap
rezim dan jika Ennadah tidak memenuhi janjinya, mereka juga dapat menjadi
bagian dari sejarah sebagaimana Ben Ali saat ini.
Respon Liga Arab
Konferensi tingkat tinggi bidang Perekonomian, Sosial dan
Pembangunan negara-negara Arab yang berlangsung di Sharm El-Sheikh, Mesir sama
sekali tidak menyinggung kekacauan di Tunisia yang mulai memicu krisis ekonomi
di negeri itu.
Konferensi yang berakhir hari Rabu
(19/1) hanya menekankan pada masalah pembangunan dan upaya pengentasan
pengangguran di negara-negara Arab. "Ini merupakan konferensi ekonomi
bukan konferensi politik," kata Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Abul-Gheit
saat memberikan keterangan pers di acara penutupan kemarin, menjawab pertanyaan
mengapa konferensi itu sama sekali tidak membahas krisis di Tunisia.
"Mesir sudah menyatakan
keprihatinannya atas apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir menghormati aspirasi
rakyat Tunisia. Saya pikir, tidak membahas krisis di Tunisia (dalam konferensi
itu) bukan hal yang memalukan karena pada bulan Maret nanti akan ada pertemuan
tingkat tinggi untuk masalah politik di Irak, dan masalah Tunisia akan dibahas
dalam pertemuan itu, jika masih relevan," tukas Menlu Mesir.
Para pemimpin Arab yang hadir dalam
pertemuan di Sharm El-Syaikh hampir tidak ada yang menyinggung krisis dalam
negeri Tunisia dalam pidatonya. Hanya Sekretaris Jenderal Liga Arab Amr Moussa
yang selintas menyinggung persoalan di negeri itu. Ia mengatakan bahwa apa yang
terjadi di Tunisia adalah sebuah "revolusi."
"Masyarakat negara-negara Arab
sudah sering diguncang oleh krisis-krisis sosial. Revolusi yang sedang terjadi
di Tunisia berkaitan dengan isu-isu ekonomi dan pembangunan sosial dalam
pertemuan tingkat tinggi tahun ini. Revolusi itu tidak jauh jaraknya dari
kita," kata Moussa.
Sekjen Liga Arab itu juga
mengingatkan bahwa masyarakat Arab telah memasuki tahap kemarahan dan frustasi
yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Untuk itu Moussa menyerukan
"pembaruan" di negara-negara Arab untuk mengatasi rasa frustasi di
kalangan rakyat.
Konferensi
tingkat tinggi bidang ekonomi, sosial dan pembangunan negara-negara Arab menetapkan
sejumlah resolusi terkait peningkatan kerjasama di ketiga bidang tersebut.
Antara lain pembentukan area perdagangan bebas, penyatuan bea cukai,
pemberlakukan kebijakan di bidang investasi dan kerjasama dalam bidang
teknologi internet, angkatan laut dan bidang kelistrikan.
Konferensi itu juga memberikan
perhatian khusus pada masalah keamanan pangan dan sumber air, terutama masalah
perubahan iklim yang membuat sumber-sumber air makin langka. Negara-negara Arab
sepakat untuk menggalang kerjasama menetapkan strategi pengamanan sumber-sumber
air di wilayah Arab.
ijin copas gan buat tugas kuliah :)
BalasHapus