BEBERAPA PENINGGALAN ISLAM DI
SUMATERA SELATAN
1.
Masjid
Masjid merupakan tempat salat umat
Islam. Masjid tersebar di berbagai daerah. Namun, biasanya masjid didirikan
pada tepi barat alun-alun dekat istana. Alun-alun adalah tempat bertemunya
rakyat dan rajanya. Masjid merupakan tempat bersatunya rakyat dan rajanya
sebagai sesama mahkluk Illahi dengan Tuhan. Raja akan bertindak sebagai imam
dalam memimpin salat.
Bentuk dan ukuran masjid
bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid ialah atap
(kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke atas makin
kecil, dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas.
Jumlah atapnya selalu ganjil. Bentuk
ini mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang denahnya bujur sangkar dan
selalu bersusun serta puncak stupa yang adakalanya berbentuk susunan
payung-payung yang terbuka. Dengan demikian, masjid dengan bentuk seperti ini
mendapat pengaruh dari Hindu-Buddha.
Beberapa di antara masjid-masjid
khas Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan adzan dan memukul
bedug. Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan struktur bangunan
yang mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul memiliki fungsi yang
sama dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda kepada masyarakat
mengenai berbagai hal berkaitan dengan kegiatan suci atau yang lain dengan
dipukulnya kul-kul dengan irama tertentu.
Peninggalan bangunan
masjid pada zaman dahulu kini masih tampak terawat cantik anggun dan tetap
bernilai sejarah pasalnya meskipun ada perehaban namun hanya sebagian kecil
saja, salah satu contoh Masjid Lawang Kidul, yang dibangun oleh Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang atau yang lebih
dikenal dengan Kiai Merogan.
Masjid Lawang Kidul
Masjid Lawang Kidul adalah salah satu masjid tua di kota Palembang. Masjid ini
terletak di tepian Sungai Musi di semacam tanjung yang terbentuk oleh
pertemuannya dengan muara Sungai Lawangkidul, di kawasan Kelurahan Lawang
Kidul, Kecamatan Ilir Timur II. Rumah ibadah ini dibangun dan diwakafkan ulama
Palembang Kharismatik, Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K.
Anang pada tahun 1310 H(1890 M).
Ulama ini
lebih dikenal sebagai Kiai Merogan. Panggilan itu merujuk pada tempat tinggal
dan aktivitasnya yang banyak di kawasan muara Sungai Ogan (salah sat anak
Sungai Musi) di kawasan Seberang Ulu. Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang
yang sukses. Kiai Merogan dilahirkan
pada tahun 1811 M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini dimakaman di areal
Masjid Ki Merogan, salah satu masjid yang dibangun selama syiar Islamnya.
Selama
berdakwah-sebelumnya, dia menetap di Mekkah, Saudi Arabia, tetapi mendapat
bisikan untuk kembali ke kampong halaman – bersama murid-muridnya, Kiai Merogan
menggunakan perahu hingga ke daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu
pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta
tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki
peninggalan berupa masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI).
Sayang,
kebakaran hebat pernah menghaguskan Kampung Karangberahi pada antara tahun
1964-1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya
tulis Kiai Merogan, yang makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya
membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu.
Sebagai
salah satu warisannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan
kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini. Arsitektur Masjid
Lawang Kidul menyerupai Masjid Agung Palembang dan Masjid Kiai Muara Ogan. Ada
ciri khas pada Masjid Lawang Kidul, yakni menara masjid memiliki tiga undakan
pada bagian tubuh menara. Kemudian, atap masjid pada bangunan utama melebar
memayungi ruangan utama di bawahnya.
Atap Masjid
Lawang Kidul memiliki tiga undakan. Uniknya, undakan kedua seakan-akan menutupi
undakan pertama. Diantara undakan kedua dan ketiga tidak ada diberi sekat
jendela. Bagian puncak atap terpasang bulan sabit. Atap ruangan mihrab tidak
sama dengan atap utama masjid. Atap mihrab dibuat sangat mirip dengan atap
kelenteng.
Hingga
sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai lebih kurang 20X20
meter itu, sebagian besar masih asli. Namun, terdapat bangunan tambahan
sehingga luasnya saat ini menjadi 40X41 meter.
Pemugaran
dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar materialnya asli, ada
beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang diganti itu terutama bagian
atapnya yang semula genting belah bamboo. Karena genting jenis itu tidak ada
lagi, diganti dengan genting genting kodok.
Konon,
material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan
bahan kayunya –tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya terbuat dari
kayu unglen. Interior masjid, juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru
memiliki ketinggian delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih
kurang enam meter, Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atas
sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
2. Makam dan Nisan
Makam memiliki daya tarik tersendiri karena merupakan hasil
kebudayaan. Makam biasanya memiliki batu nisan. Di samping kebesaran nama orang
yang dikebumikan pada makam tersebut, biasanya batu nisannya pun memiliki nilai
budaya tinggi. Makam yang terkenal antara lain makam para anggota Walisongo dan
makam raja-raja.
Pada makam orang-orang penting atau
terhormat didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah dalam bentuk
yang sangat indah dan megah. Misalnya, makam Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan
sunan-sunan besar yang lain.
Peninggalan sejarah Islam dalam
bentuk makam dapat kita lihat antara lain pada makam berikut
Makam Kawah Tengkurep
Sejarah
Keberadaan
kesultanan ini masih tetap dirasakan hingga kini. Kompleks pemakaman kesultanan
menjadi bukti bahwa nilai-nilai Islam begitu kuat di masa Kesultanan Palembang
Darussalam.
Tidak sulit
untuk menemukan kompleks pemakaman ini, walaupun letaknya terlindungi kompleks
pergudangan peti kemas Pelabuhan Bom Baru di kawasan Kelurahan III Ilir,
Kecamatan Ilir Timur II. Dari pinggiran jalan raya, kita harus berjalan sekitar
200 meter untuk dapat melihat langsung kompleks pemakaman ini. Jika lebih
memilih dari tepian Sungai Musi, maka kompleks ini berjarak tak lebih dari 100
meter.
Nama kawah
tekurep diambil dari bentuk cungkup (kubah) yang menyerupai kawah
ditengkurapkan (Palembang: tekurep). Di sisi yang menghadap Sungai Musi (arah
selatan), terdapat gapura yang merupakan gerbang utama untuk memasuki kompleks
makam.
Di dalamnya, terdapat empat cungkup. Yaitu, tiga cungkup yang diperuntukkan
bagi makam para sultan dan satu cungkup untuk putra-putri Sultan Mahmud
Badaruddin, para pejabat dan hulubalang kesultanan. Layaknya komplek pemakaman,
Kawah Tengkurep dikelilingi tembok tinggi di sekelilingnya. Suasananya begitu
teduh dengan pepohonan sehingga sangat nyaman bagi mereka yang berziarah.
Dahulu di masa-masa awal, Kambang Koci merupakan bagian dari komplek Kawah
Tengkurep Konon, pada tahun 1151 H/ 1735 M, Sultan Mahmud Badaruddin 1
mewakafkan sebidang tanah yang cukup luas untuk pemakaman anak cucu serta
menantunya.
Tanah pemakaman tersebut dinamakan Kambang Koci, yang berasal dari kata
kambang (kolam) dan sekoci (perahu), karena jauh sebelumnya tempat itu
merupakan tempat pencucian perahu. Pemakaman ini sempat nyaris tergusur untuk
perluasan area pelabuhan. Namun usaha “pembumi-hangusan” itu tak pernah
berjalan mulus. Konon, pada tahun 1997, telah disiapkan ratusan peti untuk
memindahkan jasad-jasad terkubur ke tempat lain.
Namun tiba-tiba terjadi kecelakaan pesawat Silk air di perairan Sungsang,
salah satu musibah terbesar dalam penerbangan Indonesia. Ajaibnya, jumlah
korban tewas kecelakaan tersebut sama dengan jumlah peti yang rencananya untuk
pemindahan kubur tadi. Akhirnya, peti tersebut digunakan untuk para korban
kecelakaan.
Ketebalan bangunan pada makam ini mencapai 1 M. Oleh karena itu,
bangunan-bangunannya tidak pernah direnovasi karena masih sangat kokoh. Hanya
saja pengecatan pada temboknya saja lebih ditingkatkan.
Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep ini merupakan salah satu dari belasan
komplek pemakaman lainnya yang tersebar di sudut kota Palembang dan Pemakaman
Kawah Tengkurep ini pun merupakan jejak sejarah dari para ulama dan sultan di
era Pemerintahan Palembang Darussalam.
Berdasarkan dari catatan sejarah lama kota Palembang, Pemakaman Kawah
Tengkurep ini dibangun pada tahun 1728 Masehi atas perintah dari Sultan Mahmud
Badaruddin I atau nama lainnya adalah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (
yang wafat pada tahun 1756 M ), kalau tidak salah, itu kurang lebih tidak lama
setelah masa pembangunan Kompleks Makam atau Gubah Talang Kerangga ( 30 Ilir )
itu di selesaikan. Nama Pemakaman Kawah Tengkurep itu sendiripun diambil dari
bentuk cungkup (kubah) -nya yang menyerupai sebuah kawah yang ditengkurapkan,
atau kawah terbalik, ( kalau dalam bahasa Palembang adalah Tengkurep ).
Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep ini di dalamnya terdapat empat cungkup,
tiga cungkup sengaja diperuntukkan bagi makam para sultan-sultan kota Palembang
dan satu cungkup lainnya untuk putra-putri Sultan Mahmud Badaruddin, para
pejabat kesultanan dan hulu-balang kesultanan kota Palembang.
Berikut
nama-nama tokoh yang dimakamkan di Pemakaman Kawah Tengkurep :
Tata Letak Makam-makam
Cungkup I :
1.
Sultan Mahmud Badaruddin I (wafat tahun 1756 M)
2.
Ratu Sepuh, istri pertama yang berasal dari Jawa Tengah
3.
Ratu Gading, istri kedua yang berasal dari Kelantan (Malaysia)
4.
Mas Ayu Ratu (Liem Ban Nio), istri ketiga yang berasal dari Cina
5.
Nyimas Naimah, istri keempat yang berasal dari I Ilir (Guguk Jero Pager
Kota Palembang Lamo)
6.
Imam Sayyid Idrus Al Idrus dari Yaman Selatan (Guru Spiritual Sultan).
Cungkup II :
1.
Pangeran Ratu Kamuk (wafat tahun 1755 M)
2.
Ratu Mudo (istri P. Kamuk)
3.
Sayyid Yusuf Al Angkawi (Imam/ Guru penasihat Sultan)
Cungkup III :
1.
Sultan Ahmad Najamuddin (wafat tahun 1776 M)
2.
Masayu Dalem (istri Najamuddin)
3.
Sayyid Abdur Rahman Maulana Tugaah (imam Sultan dari Yaman)
Cungkup IV :
1.
Sultan Muhammad Bahauddin (wafat tahun 1803 Masehi)
2.
Ratu Agung (istri Bahauddin)
3.
Datuk Murni Hadad (Imam Sultan dari Arab Saudi)
4.
Beberapa makam lain yang tidak terbaca namanya
Di luar keempat cungkup itu, masih
terdapat beberapa makam. Antara lain, Susuhunan Husin Diauddin, yang wafat
dalam pembuangan oleh Belanda di Jakarta, 4 Jul 1826. Semula, Husin Diauddin
dimakamkan di Krukut tetapi kemudian dipindahkan ke Palembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar